Membangkitkan
Industri Surimi
Taufik
Hidayat
Dosen
Tetap Perikanan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Pelarangan cantrang
oleh pemerintah pusat (KKP RI) menyebabkan efek negative bagi para pelaku
industri surimi. 15 perusahaan yang bergerak di bidang surimi menyatakan
bangkrut akibat pasokan bahan baku yang berkurang. Total invesitasi yang
mencapai 110 US dollar untuk upaya ekspor pun mengalami kerugian. Hal ini
sangat kontradiktif dengan aturan presiden yang dikeluarkan melalui Perpres no
7 tahun 2016 tentang percepatan industrialisasi perikanan. Bahkan sangat bertolak belakang dengan Nawa
Cita Presiden Jokowi dan JK yang sangat jelas di point 6 yang menggambarkan
bahwa Indonesia harus mampu menciptakan produk yang berdaya saing degan
produk-produk dari luar negeri. Surimi salah produk intermediet yang
kebutuhannya sangat mendukung dalam menciptakan produk yang berdaya saing.
Industri
Surimi
Selama ini surimi dibuat dari berbagai jenis ikan
tangkap seperti: kurisi, ikan merah/ikan mata goyang, ikan gulamah/tigawaja dan
ikan kuniran/ikan biji nangka. Ketersediaan bahan baku ikan tersebut di atas
sepanjang tahun sangatlah fluktuatif dan tergantung dari iklim, cuaca serta
musim tangkap. Dengan demikian kondisi industri surimi umumnya tidak dapat
beroperasi secara optimal, dan beberapa perusahaan bahkan usahanya telah gulung
tikar karena skala produksinya menjadi tidak layak lagi untuk diteruskan.
Menurut data statistik, pada tahun 2008 kapasitas terpasang industri surimi di
Indonesia telah mencapai 16,5 ribu ton, namun produksinya hanya 7,3 ribu ton,
dengan demikian tingkat produksinya hanya 44%.
Surimi merupakan produk olahan hasil perikanan
setengah jadi berupa daging ikan lumat beku yang telah mengalami proses
pencucian (leaching), pengepresan,
penambahan bahan tambahan (cryoprotectant), dan pengepakan. Surimi
biasanya dibuat dari ikan laut berdaging putih dan digunakan sebagai bahan awal
pembuatan aneka produk olahan ikan (Fish Jelly Product), misalnya:
sosis, otak-otak, nugget, kamaboko, suji, chikuwa, ekado,
lobster/udang/kepiting imitasi dll. Awalnya Surimi berasal dari Jepang
dan saat ini telah menjadi produk yang mendunia, karena disamping praktis dalam
pemanfaatannya, surimi juga dapat tersedia sepanjang tahun dengan kualitas
terjaga. Di Indonesia surimi masih sulit didapatkan karena umumnya
langsung diekspor. Belum berkembangnya industri olahan ikan, diskontinyuitas
bahan baku, harga jual surimi yang cukup tinggi dan tingkat konsumsi masyarakat
Indonesia terhadap protein ikan masih sangat rendah, menjadi alasan mengapa produk surimi tidak
berkembang di tanah air.
Pengalihan
alat tangkap
Upaya-upaya solutif untuk menyelesaikan masalah surimi ini banyak
alternative-alternatif yang bisa dilakukan. Alat tangkap cantrang yang dilarang
oleh keputusan menteri ini tentuya memang sangat berdampak. Namun kajian
mengenai cantrang belum selesai secara komprehensif. Selama ini penggunaaan
cantrang tidak merusak lingkungan. Hal ini sesuai dengan KP No 42/2014 yang
telah dikaji secara akademis. Tetapi, aturan sudah ditegakkan, cantrang yang
dilarang sudah seharusnya ada pengalihan alat tangkap yang bisa menangkap bahan
baku surimi. Pengalihan ke gill net
sebenarnya menjadi salah satu upaya. Namun, pengalihan dan sosialisasi dari
pemerintah cukup lambat sehingga penggunaan gill
net pun untuk nelayan menangkap ikan ikan untuk bahan baku surimi menjadi
terhambat. Untuk itu, pemerintah dalam hak ini Kementerian Kelautan dan
Perikanan RI agar dapat kembali melakukan edaran untuk mengalihkan alat tangkap
cantrang ke gill net agar nelayan
yang memasok bahan baku untuk pembuatan surimi bisa aktif kembali dan menjamin
ketersediaan stok ikan untuk industri surimi terjamin ketersediaanya.
Membangkitkan
industri surimi melalui inovasi
Permasalahan bahan baku yang banyak dikeluhkan
oleh industri akibat dilarangnya penggunaan cantrang, bisa diatasi dengan
mensubsitusi bahan baku surimi melalui teknologi inovasi. Saat ini banyak
penelitian yang mengembangkan surimi dengan bahan baku ikan tawar, misalnya
dengan menggunakan bahan baku ikan nila. Teknologi surimi ikan nila telah
dikembangkan oleh BPPT dapat menghasilkan rendemen yang sama dengan ikan kurisi
yang menjadi andalan dalam pembuatan surimi dan kualitasnya gel tidak berbeda
signifikan. Kemudian, saat ini juga ada pengembangan surimi dari ikan lele yang
oversize. Memanfaatkan teknologi
surimi menggunakan bahan baku ikan lele yang oversize, artinya lele yang tidak
dikonsumsi oleh masyarakat juga dapat menghasilkan surimi yang berkualitas baik
dengan kekuatan gel yang juga tidak berbeda jauh dengan ikan kurisi. Bahkan
surimi dari ikan lele oversize juga
dapat dihasilkan dalam bentuk kering. Selama ini surimi yang ada balam bentuk
beku, tetapi melalui teknologi inovasi surimi dapat dihasilkan dalam bentuk
kering, praktis dan sangat mudah jika diekspor. Disamping itu, bahan baku dari
ikan hasil tangkap samping ataupun ikan rucah juga bsia berpotensi untuk bisa
menajdi bahan baku surimi. Dan banyak lagi inovasi-inovasi yang dilakukan
dengan mengalihkan sumber bahan baku utama pembuatan surimi ke bahan baku yang
mudah dibudidayakan. Ketika menyusun, RSNI untuk surimi, penulis waktu itu
memang berpendapat bahwa surimi sebaiknya tidak mengandalkan bahan baku dari
perairan demersal, tetapi bisa dapat menggunakan semua bahan baku yang dapat
menghasilkan kualitas gel surimi yang baik.
Membangkitkan kembali industri surimi,
keterjaminan stok ikan melalui pengalihan alat tangkap, mengupayakan mencari
bahan baku yang dapat digunakan sebagai bahan baku surimi merupakan sebagian
dari banyak solusi yang bisa dilakukan agar industri surimi tidak bangkrut.
Industri surimi harus diperhatikan. Keberlanjutannya sangat bermanfaat bagi
bangsa ini dalam hal devisa negara. Pemerintah harus memperhatikan ini dengan
memberikan alternatif solusi yang konkrit dan berkelanjutan agar industri ini
tetap hidup dan menyerap tenaga kerja sebanyak-banyaknya serta memberikan nilai
tambah yang sangat menguntungkan untuk hasil tangkap nelayan.
Diterbitkan: Padang Ekspress
.