Selasa, 27 Maret 2018

Membangun Industri Perikanan

Sabtu kemarin, saya memanfaatkan momen untuk kembali ke kampus untuk menghadiri orasi guru besar dosen saya Prof. Tati. Saya mengajak istri saya sekaligus untuk melihat-lihat kembali kampus yang beberapa tahun ini sudah saya mulai jarang saya kunjungi. yah, kembali melihat napak tilas berjuang di kampus yang konon katanya "masuknya gampang, Keluarnya susah".. hehehe

Orasi yang dibawakan beliau adalah mengenai pepton. ingatan saya kembali kepada waktu saya setelah lulus, beliau menugaskan saya untuk menjadi instruktur untuk pelatihan pepton. sejujurnya, waktu itu bukan saya banget, karena jarang bermain dengan hidrolisat dan protein. makanya, ketika saya ditugaskan maka saya berusaha untuk memahami secara cepat dengan dibantu juga dengan mahasiswa beliau yang juga sedang penelitian mengenai pepton. Pepton ini nama yang unik, tapi kalau berbicara industri ini kita bukan lagi berbicara rupiah, tetapi sudah dollar. Begitu diceritakan beliau, saya sangat yakin orang akan banyak mencari beliau, karena bahan baku yang digunakan hanya limbah hasil perikanan bukan ikan segar yang biasa diproduksi oleh negara luar. Dulu, konon katanya ada orang China yang datang ke beliau untuk mengajak bersama-sama membangun industri pepton. Akan tetapi, karena tidak sesuai dengan berbagai hal dan hanya menguntungkan salah satu pihak, akhirnya batal terlaksana. Dalam orasi ini, beliau sangat menekankan untuk membangun industri pepton dalam negeri.

Tidak hanya pepton ternyata, dalam orasi prof sugeng yang juga guru saya, beliau juga mengeluhkan belum adanya industri minyak ikan di Indonesia. Bahan bakunya ada, berbagai macam, kalau diluar hanya ikannya itu-itu saja. tetapi, justru kita malah impor minyak ikan. celakanya lagi, minyak ikan yang masuk ke indonesia ternyata hanya mengandung sedikit omega 3 (dibawah 5%) yang bisa disebut minyak sampah atau minyak nano-nano. hal ini sangat merugikan konsumen kita. belum lagi industri rumput laut, yang sampai hari ini juga tidak berkembang di indonesia. banyak pakar dan ahli rumput laut yang ditantang untuk membangun industrinya di indonesia, bahkan dahlan iskan waktu itu memberikan hadiah bmw jika ada yang berhasil membangun industri rumput laut dari hulu ke hilir. dahlan iskan, mencemaskan bagaimana rumput laut yang melimpah di ekspor dalam bentuk mentah yang harganya sungguh rendah.  Terakhir, Industri Surimi juga bangkrut di Indonesia, ditambah lagi dengan dilarangnya cantrang otomatis industrialisasi perikanan di Indonesia jalan ditempat.


Lalu, apa masalahnya?

sejauh ini, jika bermain dengan perikanan yang bahan bakunya berasal dari alam tentunya juga bermasalah dengan stok bahan baku. bahan baku yang ada juga sangat memiliki karakteristik yang berbeda beda. di wilayah A bisa menghasilkan rumput laut yang bagus, dengan spesies yang sama di wilayah B karakteristiknya belum tentu sama (standardisasi bahan baku). Belum lagi, masalah infrastuktur dan juga modal yang biasanya juga menjadi kendala. perusahaan pengolahan terkenal dan modern, bahkan butuh waktu 5-6 tahun untuk balik modal dan mendapatkan keuntungan. disamping itu, yang bermain di industri perikanan banyak didominasi oleh para para UMKM dan UKM yang tidak punya modal banyak dan SDM nya terbatas.

Lalu bagaimana solusinya?

Sejauh ini, praktis model tripel helix menjadi jawaban general atas permasalahan ini. industri perikanan saat ini saat ini membutuhkan sinergi yang kuat antara pemerintah, swasta, akademisi, dan mungkin saat ini juga bisa melibatkan komunitas. era zaman now, yang penuh ketidakpastian ini tentunya tidak bisa lagi bermain sendiri. swasta sendiri, pemerintah sendiri, dan akademisi bergerak sendiri. dibutuhkan sinergi yang harmoni. Pemerintah berusaha mencara benefit, swasta mencari profit, dan akademisi membantu memberikan kajian agar bisa diterapkan dengan skala industri baik dari segi teknologi dan keilmuan. hal ini tentunya juga bisa dilakukan untuk membangkitkan industri perikanan. bayangkan, jika pemerintah melarang cantrang, industri surimi mengalami pesakitan, begitu juga dengan aturan lainnya seperti impor bahan baku atau bahan baku kosong yang juga berimplikasi dengan  proses produksi perusahaan, bayangkan pemerintah juga tidak menyokong akademisi untuk bisa riset membuat standardisasi bahan baku yang diperuntukkan untuk industri, membantu merumuskan regulasi, dan membentuk karakter SDM Perikanan yang tangguh, tentunya juga tidak akan membantu dalam scale up industri.

Kita harus memulai kembali sinergi ini, dan kembali refokusing kembali program program yang bisa menumbuhkan industri, merumuskan regulasi yang sesuai dan tidak memberatkan swasta, membantu akademisi untuk pengembangan keilmuan untuk penerapan teknologi. semua ini tentunya dibutuhkan untuk Indonesia kembali berdaulat, tidak lagi impor, dan bisa membangun industri perikanan yang tangguh dan menghasilkan keuntungan sehingga membuka lapangan pekerjaan dan meningkatkan perekonomian nasional.


28 Maret 2018

Revolusi Putih VS Gerakan Makan Ikan


Revolusi Putih VS  Gerakan Makan Ikan
Penulis : Taufik Hidayat
Dosen perikanan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Tim Riset Konsorsia Food Security Untirta

Wacana revolusi putih yang dicanangkan oleh pak prabowo untuk DKI Jakarta menimbulkan banyak pro kontra. Salah satunya datang dari menteri kesehatan dan menteri kelautan dan perikanan yang saat ini mengkampanyekan gemar makan ikan. Revolusi putih yang ditawarkan di jakarta dengan gerakan minum susu merupakan wacana yang dahulunya pernah dicanangkan ketika Bung karno jadi presiden. Apakah revolusi putih ini merupakan awalan yang bagus untuk DKI jakarta ataukah hanya menjadi formalitas belaka, mengingatkan perekonomian bangsa saat ini lagi sulit-sulitnya.

Pondasi pangan
Gerakan minum susu dan juga makan ikan pada dasarnya merupakan gerasakan penjabaran dari empat sehat lima sempurna yang jauh-jauh hari sudah dikeluarkan oleh tim ahli gizi IPB. Konsep yang sudah lama diajarkan mulai dari sekolah dasar hingga tingkat perguruan tinggi. Asupan gizi yang seimbang dan pola hidup sehat merupakan upaya pemerintah untuk mengentaskan gizi buruk. Namun, diera demokrasi saat ini pola hidup sehat dan asuapan gizi seimbang seolah-olah hilang ditelan bumi. Kesibukan masyarakat saat ini, pola hidup yang tidak beraturan,  dan sulitnya daya beli masyarakat menengah ke bawah serta diperparah dengan jomplangnya antara si miskin dan si kaya membuat negara ini seolah lupa bahwa pondasi pangan bangsa ini rapuh. Saat ini, banyak beredar makanan-makanan instan yang tidak menyehatkan dan dapat menimbulkan penyakin degeneratif. Globlisasi pangan merajalela, bahan makanan dri luar negeri lebih dinikmati dari pada pangan pangan yang ada di negeri sendiri. Hal ini sungguh  memprihatinkan, sehingga menurut saya gerakan minum susu dan gemar makan ikan sekalipun belum menunjukkan efek yang signifikan bagi kesehatan dan pengentasan gizi buruk di Indonesia. Boleh kita berbangga, ikan kita  sudah mulai menggeliat karena program ilegal fishing, tetapi apakah ikan yang dihadirkan untuk masyarakat merupakan ikan yang kualitasnya prima? Apakah harga ikan di Indonesia timur dan daerah jawa sudah bisa dijangkau dayabelinya oleh masyarakat menengah kebawah?  Pertanyaan ini merupakan hal-hal yang dasar yang harus dijawab pemerintah. Bahkan hasil penelitian penulis menunjukkan bahwa tingkat perekonomian, tingkat pendidikan masih berpengaruh pada konsumsi ikan. Bahkan wanita dewasa yang akan melahiran generasi-generasi penerus bangsa justru dari segi umur 19-55 tahun, hanya wanita yang menikah yang melek dan menganggap konsumsi ikan penting. Selebihnya, mereka tidak menyukai ikan dengan berbagai alasan. Sedangkan, untuk revolusi putih yang mencanangkan minum susu juga menimbulkan banyak pertanyaan, apakah sapi-sapi yang ada di Indonesia dapat mencukupi stok susu yang akan dikonsumsi masyarakat? Apakah kualitas susu lokal lebih baik dari susu impor? Hal ini juga menjadi bahan koreksi yang harus disiasati pemprov DKI jika ingin ngotot menggalakan revolusi putih.

Kedaulatan mulut
Dua gerakan ini sama-sama bagus, penjabaran dari 4 sehat 5 sempurna dengan menitik beratkan susu dan ikan sebagai sumber nutrisi. Gerakan ini akan berhasil dimasyarakat jika pemerintah serius membenahi sistem pangan di Indonesia. Kementerian kesehatan harus mempunyai data-data kandungan gizi tipe bahan baku pangan yang ada, baik sumber karbohidrat, sumber protein, sumber lemak, dan sumber serat. Negara Inggris contohnya mereka mempunyai data kandungan gizi yang lengkap untuk semua bahan baku. Jika ingin mengkampanyekan ikan, tentu masyarakat awam harus tau semua informasi kandungan gizi setiap ikan yang ada di Indonesia. Prof nurjanah dalam orasi ilmiahnya mengatakan bahwa Indonesia masih kekurangan informasi terkait sumber gizi pada ikan sehingga konsumsi ikan masyarakat di Indonesia tergolong rendah. Ditambahkan juga, penulis juga sangat prihatin dengan konsumsi ikan masyarakat indonesia yang masih tergolong kualitas secondary, sedangkan yang kualitas prima diekspor. Harusnya jika sudah memiliki ikan yang cukup, tentunya masyarakat juga harus menikmati ikan yang kualitas prima. Dengan data informasi ikan yang cukup dan didukung dengan kondisi gizi ikan yang jelas serta kualitas prima tentunya gemar makan ikan nasional ini akan berhasil. Begitu juga dengan susu, sumber susu lokal harus diperhatikan stoknya. Pembibitan sapi-sapi berkualitas harus digalakkan, sehingga daya beli masyarakat juga bisa meningkat dan harga bisa terjangkau. Susu yang dikonsumsi juga harus memenuhi standar SNI dari aspek keamanan pangan dan catatan kadaluarsa, sehingga aman dari food born desease.
Dua gerakan ini harus ditunjang dengan kecintaan masyarakat sendiri untuk mengkonsumsi pangan lokal. Hal ini ditunjukkan dengan kedaultan mulut bangsa Indonesia. Masyarakat harus berani lantang untuk cinta produk lokal dan meninggalkan makanan-makanan instan yang tidak menyehatkan dari luar negeri. Kedaulatan mulut akan menentukan gizi yang kita konsumsi. Jika kita mengkonsumsi pangan lokal yang sumbernya jelas bahan bakunya dan halalan toyiban tentunya juga berkorelasi dengan kesehatan. Jika masyarakat sudah aware dengan kesehatan tentunya makanan makanan yang tidak menyehatkan akan menyingkir dengan sendirinya.
Sebagai penutup tulisan ini,  indonesia sehat yang dicanangkan nantinya pada tahun 2019 dalam persiapan dalam menghadapi bonus demografi harus menitikeratkan pada kembalinya kekhasan masyarakat dalam memenuhi mulutnya dengan pangan lokal yang menyehatkan. Gerakan revolusi putih dan gemar makan ikan tidak hanya jadi semboyan kampanye belaka, tetapi menjadi garda terdepan dalam menghidupkan kembali konsep pangan gizi seimbang (semboyan 4 sehat 5 sempurna) untuk indonesia berdaulat.

LINK BIO Tulisan Ilmiah


 halo teman teman semua, saya ingin teman teman, rekan rekan semua, bisa melihat tulisan tulisan ilmiah saya, mudah mudahan bisa disitasi dan bermanfaat untuk rekan -rekan semua




 silahkan cek link ini:

link Bio
Researchgate



terima kasih

Senin, 26 Maret 2018

Tahun 2017

Tahun 2017 merupakan tahun yang luar biasa. suka maupun duka menaungi saya dalam menempa diri untuk menjadi lebih baik. masih ingat di dalam ingatan saya ditinggal ibunda tercinta ketika saya belum menikah dan belum membanggakan beliau. beliau meninggal dengan tenang, tanpa merepotkan anak-anaknya.
Setelah satu bulan, saya kembali ke kampus dan aktif kembali mengajar. luar biasa, saya langsung dikagetkan dengan SK bahwa saya diangkat menjadi sekretaris Gugus Penjaminan Mutu di Fakultas Pertanian. kaget, karena status saya waktu itu dosen kontrak, bukan PNS yang sudah seharusnya mendapatkan jabatan itu. Awalnya saya menanyakan kepada pimpinan fakultas, dan beliau hanya tersenyum dan mengatakan selamat bekerja. saat itu, saya benar benar gak habis pikir, karena sebulan off saya tidak mengetahui perkembangan kampus. Saya juga datang ke kampus hanya modal semaangat setengah, tidak terlalu happy. Disaat itu, saya juga merenung, ini sinyal apa lagi yang diberikan Tuhan. Dengan bismillah saya terima amanah ini dengan semangat baru. Mungkin ini dibalik kesusahan saya diberikan kemudahan dan tantangan untuk bisa bersemangat dengan aktivitas lainnya. saya memulai untuk membuat rencana strategis dan merampungkan buku manual mutu yang menjadi target fakultas.  Alhamdulillah, amanah ini saya selesaikan dengan terkareditasinya 3 prodi di Pertanian dengan nilai B, suatu kebanggan tempat saya bernaung nilai jurusan perikanan melonjak drastis dari c ke nilai B (327). hal ini tentunya berkat kerjasama yang luar biasa (team work)  dan iklim yang kondusif dan nyaman di fakultas pertanian. Kemudian Jurnal-Jurnal di Pertanian mulai hidup kembali, Jurnal Perikanan Kelautan dan Jurnal agroekoteknologi mendapatkan  indeksasi DOAJ, Meskipun belum terakreditasi DIKTI.

Bulan demi Bulan, tahun 2017 memberikan banyak tantangan. bulan september adalah bulan bulan yang menurut saya banyak tantangan sekaligus batu loncatan saya. saya melamar gadis yang saya idamkan pada tanggal 9 September, dan 19 September saya terbang ke Jepang untuk mengikuti konferensi di TUMSAT, sekaligus cari-cari sekolah yang cocok bagi saya. dan luar biasa saya juga merayakan hari milad saya di TOKYO, kota besar yang penuh tantangan, disiplin , dan semangat.


akhir tahun 2017, tepatnya bulan desember tanggal 22 di hari jumat berkah, saya menikah. Rasa haru dan bahagia, saya seolah mendapatkan kenikmatan berlipat lipat. mengalir begitu saja, bahkan saya tidak pernah membayangkan skenario hidup saya bisa begitu. ditambah lagi seminggu sebelum saya menikah, saya dinyatakan LULUS CPNS di BPPT RI. maka nikmat mana lagi yang saya dustakan ....


Dosen saya yang sudah saya anggap orang tua pernah berujar kepada saya. "fik, sesungguhnya dibalik kesusahan pasti ada kemudahan, Allah sudah janji, dan itu tercantum dalam FirmanNYA". Nasehat itu betul adanya, saya merasa lebih kuat dan siap menghadapi hidup, menjadi pemimpin bagi keluarga dan juga untuk menjadi kakak yang baik buat adik-adik saya.


refleksi kembali untuk sprit baru,


maret 2018