Selasa, 27 Maret 2018

Revolusi Putih VS Gerakan Makan Ikan


Revolusi Putih VS  Gerakan Makan Ikan
Penulis : Taufik Hidayat
Dosen perikanan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Tim Riset Konsorsia Food Security Untirta

Wacana revolusi putih yang dicanangkan oleh pak prabowo untuk DKI Jakarta menimbulkan banyak pro kontra. Salah satunya datang dari menteri kesehatan dan menteri kelautan dan perikanan yang saat ini mengkampanyekan gemar makan ikan. Revolusi putih yang ditawarkan di jakarta dengan gerakan minum susu merupakan wacana yang dahulunya pernah dicanangkan ketika Bung karno jadi presiden. Apakah revolusi putih ini merupakan awalan yang bagus untuk DKI jakarta ataukah hanya menjadi formalitas belaka, mengingatkan perekonomian bangsa saat ini lagi sulit-sulitnya.

Pondasi pangan
Gerakan minum susu dan juga makan ikan pada dasarnya merupakan gerasakan penjabaran dari empat sehat lima sempurna yang jauh-jauh hari sudah dikeluarkan oleh tim ahli gizi IPB. Konsep yang sudah lama diajarkan mulai dari sekolah dasar hingga tingkat perguruan tinggi. Asupan gizi yang seimbang dan pola hidup sehat merupakan upaya pemerintah untuk mengentaskan gizi buruk. Namun, diera demokrasi saat ini pola hidup sehat dan asuapan gizi seimbang seolah-olah hilang ditelan bumi. Kesibukan masyarakat saat ini, pola hidup yang tidak beraturan,  dan sulitnya daya beli masyarakat menengah ke bawah serta diperparah dengan jomplangnya antara si miskin dan si kaya membuat negara ini seolah lupa bahwa pondasi pangan bangsa ini rapuh. Saat ini, banyak beredar makanan-makanan instan yang tidak menyehatkan dan dapat menimbulkan penyakin degeneratif. Globlisasi pangan merajalela, bahan makanan dri luar negeri lebih dinikmati dari pada pangan pangan yang ada di negeri sendiri. Hal ini sungguh  memprihatinkan, sehingga menurut saya gerakan minum susu dan gemar makan ikan sekalipun belum menunjukkan efek yang signifikan bagi kesehatan dan pengentasan gizi buruk di Indonesia. Boleh kita berbangga, ikan kita  sudah mulai menggeliat karena program ilegal fishing, tetapi apakah ikan yang dihadirkan untuk masyarakat merupakan ikan yang kualitasnya prima? Apakah harga ikan di Indonesia timur dan daerah jawa sudah bisa dijangkau dayabelinya oleh masyarakat menengah kebawah?  Pertanyaan ini merupakan hal-hal yang dasar yang harus dijawab pemerintah. Bahkan hasil penelitian penulis menunjukkan bahwa tingkat perekonomian, tingkat pendidikan masih berpengaruh pada konsumsi ikan. Bahkan wanita dewasa yang akan melahiran generasi-generasi penerus bangsa justru dari segi umur 19-55 tahun, hanya wanita yang menikah yang melek dan menganggap konsumsi ikan penting. Selebihnya, mereka tidak menyukai ikan dengan berbagai alasan. Sedangkan, untuk revolusi putih yang mencanangkan minum susu juga menimbulkan banyak pertanyaan, apakah sapi-sapi yang ada di Indonesia dapat mencukupi stok susu yang akan dikonsumsi masyarakat? Apakah kualitas susu lokal lebih baik dari susu impor? Hal ini juga menjadi bahan koreksi yang harus disiasati pemprov DKI jika ingin ngotot menggalakan revolusi putih.

Kedaulatan mulut
Dua gerakan ini sama-sama bagus, penjabaran dari 4 sehat 5 sempurna dengan menitik beratkan susu dan ikan sebagai sumber nutrisi. Gerakan ini akan berhasil dimasyarakat jika pemerintah serius membenahi sistem pangan di Indonesia. Kementerian kesehatan harus mempunyai data-data kandungan gizi tipe bahan baku pangan yang ada, baik sumber karbohidrat, sumber protein, sumber lemak, dan sumber serat. Negara Inggris contohnya mereka mempunyai data kandungan gizi yang lengkap untuk semua bahan baku. Jika ingin mengkampanyekan ikan, tentu masyarakat awam harus tau semua informasi kandungan gizi setiap ikan yang ada di Indonesia. Prof nurjanah dalam orasi ilmiahnya mengatakan bahwa Indonesia masih kekurangan informasi terkait sumber gizi pada ikan sehingga konsumsi ikan masyarakat di Indonesia tergolong rendah. Ditambahkan juga, penulis juga sangat prihatin dengan konsumsi ikan masyarakat indonesia yang masih tergolong kualitas secondary, sedangkan yang kualitas prima diekspor. Harusnya jika sudah memiliki ikan yang cukup, tentunya masyarakat juga harus menikmati ikan yang kualitas prima. Dengan data informasi ikan yang cukup dan didukung dengan kondisi gizi ikan yang jelas serta kualitas prima tentunya gemar makan ikan nasional ini akan berhasil. Begitu juga dengan susu, sumber susu lokal harus diperhatikan stoknya. Pembibitan sapi-sapi berkualitas harus digalakkan, sehingga daya beli masyarakat juga bisa meningkat dan harga bisa terjangkau. Susu yang dikonsumsi juga harus memenuhi standar SNI dari aspek keamanan pangan dan catatan kadaluarsa, sehingga aman dari food born desease.
Dua gerakan ini harus ditunjang dengan kecintaan masyarakat sendiri untuk mengkonsumsi pangan lokal. Hal ini ditunjukkan dengan kedaultan mulut bangsa Indonesia. Masyarakat harus berani lantang untuk cinta produk lokal dan meninggalkan makanan-makanan instan yang tidak menyehatkan dari luar negeri. Kedaulatan mulut akan menentukan gizi yang kita konsumsi. Jika kita mengkonsumsi pangan lokal yang sumbernya jelas bahan bakunya dan halalan toyiban tentunya juga berkorelasi dengan kesehatan. Jika masyarakat sudah aware dengan kesehatan tentunya makanan makanan yang tidak menyehatkan akan menyingkir dengan sendirinya.
Sebagai penutup tulisan ini,  indonesia sehat yang dicanangkan nantinya pada tahun 2019 dalam persiapan dalam menghadapi bonus demografi harus menitikeratkan pada kembalinya kekhasan masyarakat dalam memenuhi mulutnya dengan pangan lokal yang menyehatkan. Gerakan revolusi putih dan gemar makan ikan tidak hanya jadi semboyan kampanye belaka, tetapi menjadi garda terdepan dalam menghidupkan kembali konsep pangan gizi seimbang (semboyan 4 sehat 5 sempurna) untuk indonesia berdaulat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar