Revolusi
Putih VS Gerakan Makan Ikan
Penulis
: Taufik Hidayat
Dosen
perikanan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Tim
Riset Konsorsia Food Security Untirta
Wacana revolusi putih
yang dicanangkan oleh pak prabowo untuk DKI Jakarta menimbulkan banyak pro kontra.
Salah satunya datang dari menteri kesehatan dan menteri kelautan dan perikanan
yang saat ini mengkampanyekan gemar makan ikan. Revolusi putih yang ditawarkan
di jakarta dengan gerakan minum susu merupakan wacana yang dahulunya pernah
dicanangkan ketika Bung karno jadi presiden. Apakah revolusi putih ini
merupakan awalan yang bagus untuk DKI jakarta ataukah hanya menjadi formalitas
belaka, mengingatkan perekonomian bangsa saat ini lagi sulit-sulitnya.
Pondasi
pangan
Gerakan minum susu dan
juga makan ikan pada dasarnya merupakan gerasakan penjabaran dari empat sehat
lima sempurna yang jauh-jauh hari sudah dikeluarkan oleh tim ahli gizi IPB.
Konsep yang sudah lama diajarkan mulai dari sekolah dasar hingga tingkat
perguruan tinggi. Asupan gizi yang seimbang dan pola hidup sehat merupakan
upaya pemerintah untuk mengentaskan gizi buruk. Namun, diera demokrasi saat ini
pola hidup sehat dan asuapan gizi seimbang seolah-olah hilang ditelan bumi.
Kesibukan masyarakat saat ini, pola hidup yang tidak beraturan, dan sulitnya daya beli masyarakat menengah ke
bawah serta diperparah dengan jomplangnya antara si miskin dan si kaya membuat
negara ini seolah lupa bahwa pondasi pangan bangsa ini rapuh. Saat ini, banyak
beredar makanan-makanan instan yang tidak menyehatkan dan dapat menimbulkan
penyakin degeneratif. Globlisasi pangan merajalela, bahan makanan dri luar
negeri lebih dinikmati dari pada pangan pangan yang ada di negeri sendiri. Hal
ini sungguh memprihatinkan, sehingga
menurut saya gerakan minum susu dan gemar makan ikan sekalipun belum
menunjukkan efek yang signifikan bagi kesehatan dan pengentasan gizi buruk di Indonesia.
Boleh kita berbangga, ikan kita sudah
mulai menggeliat karena program ilegal
fishing, tetapi apakah ikan yang dihadirkan untuk masyarakat merupakan ikan
yang kualitasnya prima? Apakah harga ikan di Indonesia timur dan daerah jawa
sudah bisa dijangkau dayabelinya oleh masyarakat menengah kebawah? Pertanyaan ini merupakan hal-hal yang dasar
yang harus dijawab pemerintah. Bahkan hasil penelitian penulis menunjukkan
bahwa tingkat perekonomian, tingkat pendidikan masih berpengaruh pada konsumsi
ikan. Bahkan wanita dewasa yang akan melahiran generasi-generasi penerus bangsa
justru dari segi umur 19-55 tahun, hanya wanita yang menikah yang melek dan
menganggap konsumsi ikan penting. Selebihnya, mereka tidak menyukai ikan dengan
berbagai alasan. Sedangkan, untuk revolusi putih yang mencanangkan minum susu
juga menimbulkan banyak pertanyaan, apakah sapi-sapi yang ada di Indonesia
dapat mencukupi stok susu yang akan dikonsumsi masyarakat? Apakah kualitas susu
lokal lebih baik dari susu impor? Hal ini juga menjadi bahan koreksi yang harus
disiasati pemprov DKI jika ingin ngotot menggalakan revolusi putih.
Kedaulatan
mulut
Dua gerakan ini
sama-sama bagus, penjabaran dari 4 sehat 5 sempurna dengan menitik beratkan
susu dan ikan sebagai sumber nutrisi. Gerakan ini akan berhasil dimasyarakat
jika pemerintah serius membenahi sistem pangan di Indonesia. Kementerian
kesehatan harus mempunyai data-data kandungan gizi tipe bahan baku pangan yang
ada, baik sumber karbohidrat, sumber protein, sumber lemak, dan sumber serat.
Negara Inggris contohnya mereka mempunyai data kandungan gizi yang lengkap
untuk semua bahan baku. Jika ingin mengkampanyekan ikan, tentu masyarakat awam
harus tau semua informasi kandungan gizi setiap ikan yang ada di Indonesia.
Prof nurjanah dalam orasi ilmiahnya mengatakan bahwa Indonesia masih kekurangan
informasi terkait sumber gizi pada ikan sehingga konsumsi ikan masyarakat di Indonesia
tergolong rendah. Ditambahkan juga, penulis juga sangat prihatin dengan
konsumsi ikan masyarakat indonesia yang masih tergolong kualitas secondary, sedangkan yang kualitas prima
diekspor. Harusnya jika sudah memiliki ikan yang cukup, tentunya masyarakat juga
harus menikmati ikan yang kualitas prima. Dengan data informasi ikan yang cukup
dan didukung dengan kondisi gizi ikan yang jelas serta kualitas prima tentunya
gemar makan ikan nasional ini akan berhasil. Begitu juga dengan susu, sumber
susu lokal harus diperhatikan stoknya. Pembibitan sapi-sapi berkualitas harus
digalakkan, sehingga daya beli masyarakat juga bisa meningkat dan harga bisa
terjangkau. Susu yang dikonsumsi juga harus memenuhi standar SNI dari aspek
keamanan pangan dan catatan kadaluarsa, sehingga aman dari food born desease.
Dua gerakan ini harus
ditunjang dengan kecintaan masyarakat sendiri untuk mengkonsumsi pangan lokal.
Hal ini ditunjukkan dengan kedaultan mulut bangsa Indonesia. Masyarakat harus
berani lantang untuk cinta produk lokal dan meninggalkan makanan-makanan instan
yang tidak menyehatkan dari luar negeri. Kedaulatan mulut akan menentukan gizi
yang kita konsumsi. Jika kita mengkonsumsi pangan lokal yang sumbernya jelas
bahan bakunya dan halalan toyiban
tentunya juga berkorelasi dengan kesehatan. Jika masyarakat sudah aware dengan kesehatan tentunya makanan
makanan yang tidak menyehatkan akan menyingkir dengan sendirinya.
Sebagai penutup tulisan
ini, indonesia sehat yang dicanangkan
nantinya pada tahun 2019 dalam persiapan dalam menghadapi bonus demografi harus
menitikeratkan pada kembalinya kekhasan masyarakat dalam memenuhi mulutnya
dengan pangan lokal yang menyehatkan. Gerakan revolusi putih dan gemar makan
ikan tidak hanya jadi semboyan kampanye belaka, tetapi menjadi garda terdepan
dalam menghidupkan kembali konsep pangan gizi seimbang (semboyan 4 sehat 5
sempurna) untuk indonesia berdaulat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar