Kamis, 10 Januari 2019

Scopus?

kali ini kita bicara terkait syarat guru besar harus menerbitkan naskah jurnal di scopus. pembicaraan ini begitu hangat di kalangan akademisi. menjadi guru besar adalah puncak tertinggi yang ingin dicapai. dulu jika ingin jadi GB maka banyak gagasan dan sumbangsih yang diberikan, maka era saat ini untuk menjadi GB harus melewati syarat untuk bisa nulis di jurnal bereputasi internasional, salah satunya scopus.


kalau kita bicara scopus, saya mengingat definisi ini yang merupakan salah satu gunung di yerussalem. namun nama ini menjadi populer saat ini dikalangan ilmuwan. gak akan jadi GB kalau gak nulis di scopus, begitu kira -kira pemahaman yang terjadi saat ini.  Scopus merupakan salah satu indexing bereputasi dari belanda yang juga mempunyai beberapa anak usaha misalnya science direct dan elsevier.  dahulu publikasi ilmiah menjadi salah satu sarana mempublikasikan hasil hasil riset, tetapi saat ini sudah mengarah ke bisnis sehingga untuk menerbitkan naskah harus mengeluarkan dana yang tidak juga sedikit.


balik lagi ke inti bahasan kita, mengapa menjadi GB harus ke scopus? pertanyaan ini lah yang muncul sehingga banyak yang menggugat, bahkan ada yang menggugat sampai ke MK, kemudian membuat tulisan tulisan di media cetak. dan isunya jika profesor tidak aktif lagi menulis di jurnal reputasi nasional maka tunjangannya akan dicabut atau dikurangi persentasinya.  Ini bisa menjadi masalah atau apakah bisa menjadi titik awal lagi untuk mendorong dosen dan peneliti untuk menulis, karena di ASEAN kita masih kalah dengan malaysia, thailand, dan singapura.


Masalah? kenapa saya bilang masalah, karena scopus dahulunya sudah ada di era yang sudah lampau. kita telat memahaminya dan mencermati. Malaysia sudah selangkah lebih maju. Bahkan ribuan jurnal dalam negeri belanda saja sudah scopus, apalagi di negara lain. bahkan saya menemukan naskah einstein yang masih dalam bentuk tulisan tangan yang sampai hari ini masih banyak distasi. Ini permasalahannya, negara kita terlambat menyadari ini. Dahulu menulis di scopus sangatlah mudah dan tidak membutuhkan dana yang banyak. Saat ini, jika kita masuk ke yang berkualitas dengan tingkatan Q1 maka uang yang dikeluarkan cukup besar. bahkan teman saya harus membayar 25 juta lebih untuk 1 publikasi, dan beruntungnya dosen supervisornya yang membayar. di Indonesia, jurnal yang terindeks scopus masih sedikit, dan hanya bidang bidang disting yang bisa masuk scopus.

masalah lain yang timbul adalah banyaknya project penelitian yang dilkasanakan dan dikerjakan mahasiswa untuk kepentingan dosen. misalnya sudah dapat data kemudian ditulis yang beruntung jadi penulis pertama adalah dosennya bukan mahasiswa. hal ini harusnya dirubah, kontradiktif dengan di luar negeri yang biasanya nama supervisornya hanya di belakang. Celakanya, hal ini berlangsung terus menerus dan menjadi profesor di Indonesia hanya dilihat dari publikasinya saja, tidak lagi dilihat gagasan dan temuannya yang berdampak untuk indonesia.


Jujur saja literasi di indonesia masih sangat rendah, orang dipaksa nulis ya gak nyambung jika minat literasi masih rendah. Jadi kita melihat dorongan untuk meningkatkan publikasi ilmiah hanya sebatas supaya tidak kalah saja dengan negara tetangga. hal ini harus direnungkan lagi oleh pemangku kebijakan. sebut saja profesor yang berasal dari old generation, pemahamannya dalam menulis dikoran, dalam menyuarakan gagasannya sungguh menarik jika dibandingkan menulis jurnal untuk kepenuhan angka kredit saja. di era saat ini GB bisa dicabut karena sudah tidak aktif lagi menulis di jurnal internasional.


oleh karena itu jabatan tertinggi guru besar sudah seharusnya dilihat dari aspek kebermanfaatannya, bukan hanya dilihat dari scopus saja,saya yakin scopus mendulang uang yang besar, bisnisnya semakin maju, karena pasar di Indonesia semakin besar. ya kalau hanya menyetor uang ke luar negeri, sama aja mubazir kan.. Saya sangat mendorong indexing sinta yang dibuat pemerintah bisa berjalan dengan baik dan bisa kemudian hari menjadi indexing untuk parameter guru besar. saya berharap kejadiannya tidak sama dengan portal garuda yang tidak berjalan semestinya.



"optimal bermanfaat mendidik mengajar dengan sepenuh hati berhasil mengubah sdm indonesia yang menjadi driver bukan passenger, maka dia pantas jadi Guru Besar"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar